Rumah Baluk di TMII |
Sabtu 10 Oktober lalu
saya dan teman saya berwisata ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Dengan
menggunakan sepeda motor, kami menempuh perjalanan sekitar 30 menit dari Pasar
Minggu, Jakarta Selatan menuju TMII. Setelah sehari sebelumnya cari-cari info
arah jalan menuju TMII, dengan dibantu pakai aplikasi peta, kami berangkat. Ini
adalah kali kedua saya ke TMII. Kunjungan pertama saya ke TMII waktu saya masih
duduk di bangku kelas 2 SD bersama keluarga besar saya. Sekitar 20 tahun yang
lalu.
Ternyata jalur yang
dilalui cukup mudah. Tinggal jalan lurus saja, mengikuti arah papan informasi,
sampailah di pintu masuk utama TMII. Tiket masuk Rp 10.000 / orang dan
kendaraan roda dua Rp 6.000. Kendaraan bisa dibawa berkeliling di area TMII
sehingga kami tidak perlu capek jalan kaki dari satu anjungan ke anjungan lain.
Parkir juga gratis. Tetapi ada juga yang bayar Rp 2.000
Kami juga ditawari sewa
motor (tampaknya sewa motor tidak resmi) dengan tarif Rp 40.000, motor bisa dibawa
sendiri untuk berkeliling.
Salah satu tempat yang
menurut saya mengagumkan adalah di anjungan Kalimantan Barat. Ada sebuah miniatur
bangunan rumah adat. Disitu tertulis “BALUK”. Saya penasaran dengan rumah ini. Rumah
ini dibuat dengan tiang-tiang penyangga dari kayu yang sangat tinggi. Dengan
jumlah tiang penyangga sekitar 20 buah dan tinggi mencapai 12 meter. Tangga
untuk memasuki rumah tersebut terbuat dari sebatang kayu yang ditatah serupa
tatahan pada pohon kelapa untuk diambil nira. Pegangan nya dari bambu. Saat
menaikinya, kita harus berhati-hati karena ukuran tangga yang tidak lebar.
Bangunannya berbentuk bulat berdiameter sekitar 10 meter. Tidak ada jendela
pada dinding bangunan. Hanya ada satu pintu, didalamnya hanya ada satu ruangan,
bagian tengah dibuat semacam ruangan kecil tanpa dinding, hanya diberi atap.
Didalamnya ada bunga-bunga sesaji dan disamping kiri ada patung. Di dinding
bangunan Baluk terdapat kerangka-kerangka. Ada sebuah kayu besar dan panjang
berbentuk seperti pipa yang menembus dasar bangunan.
Saat duduk diatas Baluk,
saya berpikir, mengapa rumah Baluk ini dibuat tinggi menjulang seperti ini? Apakah
di tempat aslinya di Kalimantan, rumah ini sengaja dibuat tinggi untuk
menghindari hewan-hewan buas? Mengapa dibuat tangga yang seakan-akan
menyiratkan kita bahwa untuk sampai diatas tidak mudah, perlu kehati-hatian dan
tidak bisa terburu-buru mencapainya? Apa fungsi kayu yang menembus lantai
bangunan Baluk?
Saya tidak menemukan
jawabannya sampai akhirnya saya memasuki anjungan rumah adat Kalimantan Barat. Disitu
terdapat informasi mengenai rumah Baluk.
Ternyata Baluk adalah
rumah penyimpanan tengkorak manusia. Tengkorak-tengkorak tersebut merupakan
tengkorak musuh yang memiliki jabatan tinggi seperti panglima perang, diperoleh
dengan cara “mengayau” yaitu pemenggalan
kepala saat peperangan pada zaman dahulu. Tengkorak tersebut menjadi barang keramat
peninggalan leluhur yang harus dijaga dan dihormati. Didalam batang kayu yang berbentuk
seperti pipa itulah tengkorak tersebut disimpan. Masyarakat menyebutnya bumbung
rumah adat. Tinggi rumah Baluk menggambarkan kedudukan atau tempat Kamang
Triyuh, mungkin serupa dengan banyaknya tanduk Kerbau pada Rumah adat Tana
Toraja ya…??
Atap rumah Baluk
berbentuk kerucut, disebut “Atap Payukng Samai” yang artinya melindungi seluruh
masyarakat.
Dalam tradisi masyarakat
suku Dayak Bidayuh, setiap tanggal 15 Juni setelah selesai masa panen padi
terdapat ritual tahunan di Rumah Baluk. Ritual tersebut dikenal dengan nama Ni’bakng/Nyobeng
yang hanya diperuntukkan bagi kaum laki-laki. Sedangkan bagi kaum wanita,
ritual ini dinamakan Nambok. Dalam ritual ini, tengkorak-tengkorak dimandikan
dalam upacara adat Hliniau, dengan harapan agar masyarakat memperoleh berkat,
kesejahteraan, kedamaian dan kekuatan.
Owh astaga… saya pikir itu
rumah tinggal.